Minggu, 30 Juni 2013


TUGAS KELOMPOK I
PENGEMBANGAN TATA FORMASI DAN IKLIM HUBUNGAN KONSELING AWAL
                                      MATA KULIAH              : TEHNIK DAN LABORATORIUM
                                      DOSEN PENGASUH     : YENI RIZAL, M.Pd
DI SUSUN
OLEH
ABDUL MALIK                   Nim: (121000056)
          MUHAMMAD ADIN          Nim: (121000040)
            SARAN                                 Nim: (121000082)
SUSANTI                               Nim: (121000028)
SUDARMAN                        Nim: (121000059)
SHINTA H.W                       Nim: (121000140)
VERONIKA                          Nim: (                     )
KELAS            : A SORE
                                SEMESTER          : VI






SEKOLAH TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI) PONTIANAK
2013
DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR .............................................................................................      i
DAFTAR ISI ............................................................................................................     ii
BAB I     PENDAHULUAN....................................................................................     1
A.    LATAR BELAKANG MASALAH...................................................     1
B.     RUMUSAN MASALAH...................................................................     2
BAB II     PEMBAHASAN
                A.    MENYIAPKAN KONTEKS............................................................     3
                B.    MENYIAPKAN DIRI KONSELOR SENDIRI.............................     5
                C.    MENYIAPKAN KLEIN UNTUK KONSELING..........................     9     
                D.    MELAYANI (ATTENDING) SECARA PRIBADI.......................   12     
                E.    MENGOBSERVASI........................................................................ 13
                F.     MENDENGARKAN........................................................................   15     
               
BAB III  PENUTUP
                A.    KESIMPULAN……………………………………………….........   18
               
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................   19




Text Box: ii
 

KATA PENGANTAR

Dengan segala puji bagi Tuhan Yang Maha Esa, rasa syukur yang tak terhingga kami panjatkan kehadirat-Nya. Atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, yang tak dapat dihitung jumlahnya, berkat hidayah, inayah dan kasih sayang-Nya kami bisa menyelesaikan makalah ini, walaupun kami sadar bahwa makalah ini masih banyak kekurangan karena hanya inilah batas kemampuan kami, dan masih membutuhkan bimbingan, arahan, serta koreksi demi kebaikan pembuatan makalah ini yang untuk selanjutnya.
Kami menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kehilafan. Oleh karena itu, kepada para pembaca dan pendengar ( audien ) dan para pakar, penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif  demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga tuhan melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita sekalian.
Amin.



Pontianak, 14 Maret 2013

Penulis.........

i
 
 

......................................

BAB I
PENDAHULUAN

A.  LATAR BELAKANG MASALAH

Kontak pertama antara konselor dan klien umumnya akan mempengaruhi kelangsungan pertemuan dan hubungan selanjutnya serta tercapai tidaknya tujuan konseling. Karena itu hubungan yang akrab antara konselor dan klien harus di tumbuhkan dan dibina terus baik dalam pertemuan awal maupun dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Klien datang ke konselor atas kemaun sendiri atau dikirim oleh orang lain ataupun konselor itu sendir yang menginginkan klien agar datang kepadanya, umumnya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan serta mungkin pula takut apakah ia bebas mengemukan perasaa-perasaan atau masalah-masalah. Klien bertanya-tanya dalam dirinya apakah ia diterima dengan baik oleh konselor, apakah ia dapat mempercayai konselor, apakah rahasianya tidak dibocorkan kepada orang lain, apakah hubungan dengan konselor dapat dibina dan memuaskan, dapatkah konselor membantunya, dan sebagainya. Kalau perasaan-perasaan dan keragu-raguan tersebut tidak segera dihilangkan akan dapat mengganggu hubungan konselor dan klien. Mungkin klien menjadi takut dan memutuskan diri untuk tidak meneruskan hubungan konseling. Kalaupun hubungan konseling itu berlanjut mungkin klien tidak “involve” dengan penuh bahkan bisa pula defensif atau sebaliknya menjadi pasif dan tertutup. Ketidakterbukaan dan kurangnya kepercayaan klien kepada konselor itu dapat menghambat klien dalam mengeksplorasi dirinya sendiri dan situasi masalah yang dihadapinya. Jika keadaan ini terus berlanjut maka gagallah pencapaian tujuan konseling.
Untuk itu konselor harus bisa membangun hubungan baik dengan klien, sehingga klien mau “involve”, terbuka, dan aktif selama proses konseling. Munro, dkk. (1978) menyarankan agar konselor bersikap empatis, menghargai, dan peka. Hal ini karena klien mempunyai keinginan untuk merasakan bahwa konselor mampu melihat keadaan yang dihadapi klien sebagaimana klien itu melihatnya dan dapat ikut merasakan perasaan yang dialami klien, serta dapat menerima sebagaimana adanya kerangka berpikir klien. Klien akan mereaksi secara positif terhadap tindakan konselor yang besahabat, bersikap membantu dan penuh pertimbangan yang matang.

B.  RUMUSAN MASALAH
a.       Menyiapkan Konteks ?
b.      Menyiapkan Diri Konselor Sendiri?
c.       Menyiapkan Klien Untuk Konselor?
d.      Melayani (Attending) Secara Pribadi?




















BAB II
PEMBAHASAN

          Bertolak dari pendapat Munro, dkk. (1979), Charkhuff (1983), Cormier dan Cormier (1985) maka dalam bab ini akan dipelejari berbagai prosedur dan keterampilan yang diperlukan dalam mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal yang baik yang meliputi :
1.      Menyiapkan kondisi fisik ruangan konseling, posisi tempat duduk, jarak dan sikap duduk konselor dan klien.
2.      Menyiapkan mental klien dan konselor untuk memulai hubungan konseling.
3.      Menerima klien secara akrab dengan berbagai cara seperti : melayani klien secara pribadi, mengobservasi dan mendengarkan secara baik, dan menciptakan hubungan baik (rapport).
4.      Melaksanakan penstrukturan.

A.            MENYIAPKAN KONTEKS
            Ketermapilan menyiapkan konteks atau kondisifisik ruangan konseling yang memungkinkan klien merasa aman, tenang, rileks, dan senang sangat diperlukan bagi seorang konselor yang profesional. Pertanyaan-pertanyaan berikut ini hendaknya dipertimbangkan dalam menyiapkan konteks. Apakah konseling dilakukan dalam suasan hubungan empat mamta atau “face to face”? Apakah sifat hubungan itu tidak resmi? Adakah keadaan ruangan itu cukup menyenangkan? Adakah tempat duduknya enak dan diletakkan dalam  posisi yang tepat? Dan  masih banyak lagi pertimbangan-pertimbngan yang diperlukan dalam menyiapkan konteks ini. Dengan demikian penyiapan konteks ruangan konseling meliputi pengaturan dekorasi ruangan, pengaturan tempat duduk, dan pengaturan jarak tempat duduk konselor dan klien, letak tempat duduk klien dan ruangan konseling.

a.      Pengaturan Dekorasi Ruangan
Dekorasi ruangan konseling  hendaknya  memungkinkan  klien dapat mengenalinya dan dipilih dekorasi yang klien sudah familiar dengannya. Misalnya, jika klien serang mahasiswa maka dekorasi yang dipilih hendaknya berupa gambar buku, foto kampus, gambar ruang kuliah, gambar toga, atau foto seorang wisudawan/wisudawati. Gambar benda-benda atau situasi tersebut telah dikenal secara baik oleh klien dan mengenakakn atau menyenangkannya. Dalam ruangan itu klien akan merasa senang, kerasan dan enak. Dalam suasana seperti itu klien akan terlibat (involve) secara penuh dalam prose konseling.

b.      Pengaturan Tempat Duduk
Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien dapat berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu konselor dan klien hendaknya duduk di kursi, berhadap-hadapan satu sama lain tanpa meja atau bangku yang menghalangi klien dan konselor.

c.       Jarang Tempat Duduk Konselor Dan  Klien
Jauh dekatnya jarak tempat duduk konselor dan klien dapat pula mempengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jika tempat duduk konselor jauh dari tempat duduk klien akan cendrung menimbulkan susana hubungan yang kurang akrab dan klien menjadi kurang “involve” dalam proses konseling. Sebaliknya jika jarak tempat duduk konselor dan klien terlalu dekat dapat menimbulkan suasana hubungan yang kaku, terbatas dan merisihkan. Akibat yang terjadi addalah klien menjadi makin lebih tertutup dan defensif. Karena itu jarak tempat duduk konselor dan klien tidak terlalu jauh atau terlalu dekat.


d.      Letak Tempat Duduk Klien
Tempatkan kursi tempat duduk klien sedemikian rupa sehingga memungkinkan klien dapat melemparkan pandangannya keluar jendela. Sedapat mungkin hindari penempatan duduk klien yang membelakakangi jendela. Dengan tempat duduk yang sedemimkian itu memungkinkan klien merasa bebas, enak, dan tidak tertekan. Sebaliknya jika klien mebelakakngi jendela maka pandangan klien akan hanya terbatas pada konselor dan ruangan sekitarnya saja. Keterbatasan itu dapat menimbulkan rasa tidak enak, kikuk, dan kurang bebas.

e.       Ruangan Konseling
Usahakan pelaksanaan konseling di ruang khusus untuk itu agar klien merasa aman dan bebas mengemukakan masalahnya tanpa khawatir didengar oleh orang lain. Keberadaan konselor dan klien berduaan dalam ruang konseling ini, trutama jika klien berlainan jenis kelaminnya, dinilai bertentangan dengan ajaran islam. Untuk itu ahli konseling dan ahli agama islam menyarankan agar konseling dilaksanakan oleh konselor pria jika kliennya pria, dan oleh konselor wanita jika kliennya wanita.

B.            MENYIAPKAN DIRI KONSELOR SENDIRI
Pentingnya menyiapkan diri konselor sendiri sama pentingnya dengan menyiapkan klien dan konteks atau  kondisi fisik ruangan konseling. Persiapan diri konselor ini menurut Carkhuff (1983) meliputi (a) pengumpulan data tentang diri klien, (b) mengkaji tujuan konseling atau bantuan yang akan diberikan, dan (c) membuat diri konselor rileks. Sedangkan menurut Munro, dkk. (1979)  yang perlu dipersiapan oleh konselor menjelang konseling awal ini meliputi (a) perlunya dipertimbangkan apakah klien itu datang secara suka rela atau tidak, (b) informasi data yang dihungkan dengan klien, (c) pengetahuan tentang hakekat dan kadar masalah, (d) mengkaji tujuan konseling, dan (e) kadar usaha pemberian bantuan.
Dari pendapat Carkhuff dan Munro, dkk, tersebut di atas dapat dipertimbangkan jenis persiapan yang benar diperlukan oleh konselor untuk kelancaran pelaksanaan konseling awal. Persiapan yang diperlukan konselor seperti yang dijelaskan dibawah ini.
a.      Perlunya Diketahui Klien Apakah  Klien Itu Datang Secara Sukarela Atau Tidak
Jika kita datang ke konselor atas kemauan sendiri, maka konselor dapat memperkirakan bahwa hubungan konseling akan lebih mudah dimulai, karena klien lebih dahulu telah mempunyai niat untuk meminta bantuan.Hal ini setidak- tidaknya  menunjukkan bahwa klien telah mengenal maslahnya dan berhasrat untuk memperbaiki dirinya.
Jika klien datang ke konseling bukan atas kemauannya sendiri, maka akan sangat menguntungkan jika konselor melakukan hal-hal seperti yang disarankan oleh Munro, dkk (1979) berikut ini.
(1)     Menanyakan siapa yang menyuruh klien datang ke konselor.
(2)     Memberikan alasan mengapa klien diminta datang menghadap konselor.
(3)     Mengemukakan kepada klien tentang hal-hal yang dapat diberikan oleh seorang konselor.
(4)     Mengajar klien untuk mengemukakan perasaan yang dialaminya dalam suasana saat itu. Apakah dia marah, takut, binngung, tidak menentu dan sebagainya.
(5)     Menjelaskan bahwa klien bebas memilih satu di antara beberapa konselor yang ada di sekolah itu.
(6)     Menjelaskan bahwa klien bebas memilih untuk tetap  berada di tempat itu bersama konselor atau pergi meninngalkan konselor.


b.      Pengenalan Data Tentang Diri Klien
Tugas konselor dalam wawancara awal dan tahap-tahap konseling selanjutnya akan diperlancar jika konselor mengetahui latar belakang hidup klien secara lebih dalam. Jika klien telah pernah konsultasi maka diperlukan data latar belakang klien dari intraksi-intraksi yang pernah dilakukan itu. Informasi, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, catatan-catatan formal, dan kesan-kesan frormal yang ada, serta rekaman-rekaman lainnya tentang diri klien.
Jika klien belum pernah mendapatkan konseling maka informasi dan data yang diperlukan oleh konselor tergantung atas pertimbangan berikut ini:
(a)     Selera Konselor
Ada konselor yang lebih suka informasi dan data tentang latar belakang klien sebelum pertemuan pertama agar dapat memahami diri klien mendalam sehingga dapat menghemat waktu. Sebaliknya ada pula konselor yang lebih suka mendapatkan informasi tentang latar belakang klien secara langsung sambil berwawancara dengan klien.
(b)     Kadar Usaha Pemberian Bantuan
Bagi pemberian bantuan yang lama, mendalam dan penuh liku-liku, dan pembahasan tentang suasana dan perkembangan kejiwaan akan memerlukan lebih banyak informasi tentang latar belakang klien daripada untuk suatu usaha pemberian nasehat.
(c)      Hakikat Dan Kadar Masalah
Jika masalah klien menyangkut perubahan yang besar dari kepribadiaannya , maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien sangat diperlukan.
(d)     Tujuan konseling
Jika tujaun konseling adalah untuk membantu klien agar ia bebas dari pola-pola tingkah laku emosional yang telah berurat-berakar sejak masa kanak-kanak, maka data yang diperlukan informasi tentang kehidupan klien sejak kecil, pola kehidupan keluarganya, dan pola asuh dalam keluarga itu.
(e)      Ketepatgunaan Informasi
Informasi tentang berbagai jenis lapangan pekerjaan akan lebih tepat dan berguna untuk konseling jabatan, tetapi mungkin kurang cocok untuk konseling perkawinan,. Informasi tentang bakat dan minat seorang akan cocok untuk konseling pilihan jurusan, tetapi kurang cocok untuk keperluan konseling masalah sosial anatr muda-mudi.
(f)       Ketersediaan Informasi
Informasi tentang latar belakang klien tidak selalu tersedia dan kalaupun tersedia tidak dapat dengan mudah diberikan kepada orang atau lembaga lain yang memerlukan. Informasi tentang diri klien yang berada di sauatu lembaga pendidikan seperti SLTP, SLTA dan perguruan tinggi umumnya tersedia berupa daftar pribadi, otobiografi, dan catatan-catatan lainnya yang mudah diperoleh dan digunakan oleh konselor dari lembaga pendidikan yang bersangkutan.

c.       Mengkaji Tujuan Konseling
Kajian tentang tujuan konseling ini ditentukan pada tujuan yang ingin dicapai oleh tahap awal dari intraksi yang sifatnya membantu itu. Tujuan konseling tahap awal ini adalah membuat klien aktif dalam mengeksplorasi pengalaman-pengalaman sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Untuk mencapai tujuan ini konselor harus menyiapkan klien dengan berbagai cara seperti memikat klien, memberi informasi tentang hakikat layanan konseling, dan mendorong klien untuk memamfaatkan bantuan konseling tersebut.



d.      Membuat Diri Konselor Rileks
Konselor hendaknya dapat membuat dirinya sendiri merasa rileks. Yaitu rileks pikirannya dan badannya untuk menghadapi konseling yang akan segera dilaksanakan.untuk membuat rileks pikirannya, konselor dapat mencapainya dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan dan pengalaman-pengalaman yang serba mulus, lancar dan mengembirakan.

C.            MENYIAPKAN KLIEN UNTUK KONSELING
Kesedian klien “involve” dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor menyiapkan kliennya. Menurut Carkhuff (1983) ada tiga cara atau prosedur untuk menyiapkan klien yaitu :
(a)    Memikat klien
(b)   Memberi informasi tentang etika konseling dan konselor yang dapat dipilih, dan
(c)    Mendorong klien untuk mengambil konseling dengan serius.
Tidak involvenya klien secara penuh dalam proses konseling itu oleh Egan (1982) dinamakan “reluctant” dan “resistant” adalah keadaan atau sikap klien yang enggan datang ke konseling sebab kedatangannya bukan atas kemauannya sendiri. Klien yang “resistant” datang ke konseling secara setengah hati. Semula klien “reluctant” dan sekarang sudah dapat mengatasi “reluctant”nya itu tetapi belum berhasil sepenuhnya. Ia masih setengah hati. Menurut Egan (1982) sebab dari “reluctant” dan “resistant” itu ada 18 macam, beberapa di antaranya adalah:
(a)    Klien tidak mengerti mengapa harus pergi ke konseling untuk pertama kalinya;
(b)   Klien yang dikirim oleh guru, orang tua, atau lembaga lain;
(c)    Klien yang takut karena belum tau hakikat konseling;
(d)   Klien yang tidak tahu bagaiman berpartisipasi secara efektif dalam konseling, dan;
(e)    Klien yang tidak suka pada konselor.
Melihat sebab-sebab klien kurang “involve” seperti tersebut di atas maka konselor harus menyiapkan klien dengan baik agar ia merasa aman, diterima, dihargai sehingga terciptalah hubungan baik(“rapport”). Untuk itu perlu usaha-usaha sebagai berikut ini.
(a)   Memikat klien
Menurut Carkhuff (1983) memikat klien beraarti menyebut klien secara formal dan berusaha mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan konseling. Egan (1983) menyatakan bahwa penyambutan klien dalam rangka membangun “rapport” itu dapat diwujudkan dengan sikap empati, sebab dengan sikap empatiini akan dapat mengembangkan keterbukaan dan kepercayaan pada diri klien sehingga ia mampu mengeksplorasi dirinya sendiri dan masalah-masalahnya.
Dengan demikian prosedur atau cara memikat klien agar mau berpartisipasi aktif dalam konseling dapat meliputi berbagai usaha untuk menyambut klien secara formal tetapi masih bersipat hangat, dan berbagai usaha untuk mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan konseling.
1.      Menyambut klien secara formal dan hangat, dapat terdiri dari:
a.       Mengucapkan salam,
b.      Berjabat tangan,
c.       Mempersilahkan duduk,
d.      Menyebut nama klien (kalau sudah kenal namanya) atau menanyakan nama klien (kalau belum kenal sebelumnya),
e.       Memperkenalkan nama konselor,
f.       Mebicarakan hal-hal yang menarik yang sempat ditangkap dari pertemuan yang singkat itu.
2.      Mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan konseling, dapat dilakukan dengan:
a.       Mengemukan tujuan klien datang pada konselor, misalnya “Baiklah, saya kira Anda datang kemari karena ada sesuatu masalah yang mengganggu Anda”
b.      Kalau dengan kata-kata konselor tersebut klien belum juga mau terbuka, maka konselor dapat menambahkan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: “Rupanya Anda belum begitu memahami hakikat dan tujuan layanan konseling ini.

(b)   Memberi informasi
Mungkin saja klien masih ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya. Bebagai perasaan was-was berkecamuk dalam dirinya, ia merasa takut kalau rahasianya diketahui orang lain. Dalam keadaan seperti ini konselor hendaknya memberikan informasi-informasi yang diperkirakan dapat menghilangkan keragu-raguan klien itu. Informasi-informasi itu antara lain diuraikan di bawah ini.
1.      Etika konseling;  mungkin keragu-raguan klien itu disebabkan karena klien belum memahami kode etik konseling.
2.      Konselor yang dapat dipilih; untuk menyakinkan klien bahwa konseling itu menjamin kebebasan klien dapat mewujudkan melalui adanya kesempatan klien untuk memilih konselor mana yang klien sukai untuk berkonsultasi.

(c)    Mendorong klien untuk mengambil konseling
Agar klien mau “involve” dalam proses konseling dapat pula dilakukan dengan memotivasi klien dengan cara memberi penjelasan tentang alasan-alasan mengapa ia harus aktif berpatisipasi dalam proses konseling. Dalam hal ini konselor dapat berkata dengan berbagai cara, misalnya;
1.      “Jika anda aktif dalam proses konseling ini Anda akan dapat menemukan sendiri jalan keluar dari masalah yang Anda hadapi saat ini dalam waktu yang tidak terlalu lama”.
2.      “Konseling ini akan memerlukan sekitar tiga kali pertemuan yang tiap pertemuannya memerlukan waktu sekitar 30 menit. Jika Anda aktif mengungkap latar belakang masalah Anda dan aktif memikirkan jalan keluar dari masalah tersebut mungkin masalah anda akan segera teratasi, tetapi kalau Anda pasif dan tertutup mungkin akan memerlukan waktu lebih banyak lagi”.
Prosedur ini dapat pula dinamakan “kontrak” atau kesepakatan untuk mengambil konseling sesuai dengan prosedur tertentu yang telah disepakati bersama oleh klien dan konselor.
D.            MELAYANI (ATTENDING) SECARA PRIBADI
Carkhuff  (1983) menyatakan bahwa melayani secara pribadi mungkin klien dapat merasa dekat dengan konselor, sehingga dapat mengkomunikasikan minat dan perhatian klien. Menurut Carkhuff melayani secara pribadi adalah usaha konselor untuk menempatkan diri sedemikian rupa sehingga dapat memberi perhatian secara penuh dan tak terbagi pada klien. Karena itu melayani secara pribadi menekankan pentingnya konselor menghadapi klien secara penuh dengan;
a.      Menghadap Secara Tepat Pada Klien
Salah satu sikap konselor dalam menghadapi klien adalah menghadapinya secara penuh. Apakah konselor berdiri atau duduk, konselor harus menghadap pada klien secara tepat, yaitu bahu kiri  konselor lurus dengan bahu kanan klien, dan bahu kanan konselor lurus dengan bahu kiri klien.
b.      Condong ke Depan
Cara konselor mengahadapi klien secara pribadi yang ke dua adalah menyodorkan badan kedepan. Misalnya jika konselor duduk, maka konselor harus menyodorkan badannya ke depan ke arah klien yang sedang duduk atau sedang dihadapi oleh konselor.
c.       Menatap Mata Klien
Konselor dapat berkomunikasi secara penuh perhatian jika ia memelihara “kontak mata” dengan klien yang dihadapinya. Melalui usaha konselor melakukan “kontak mata” itu, klien akan sadar bahwa ia sedang diperhatikan secra psikologi.

E.             MENGOBSERVASI
Keterampilan yang paling penting  yang dihasilkan atau yang diperlukan oleh “attending” secara pribadi adalah keterampilan mengobservasi. Megobservasi adalah keterampilan membantu yang paling dasar. Observasi adalah sumber dari belajar konselor tentang klien.
Munro, dkk. (1979) selanjutnya menyarankan hal-hal yang mungkin diamati dan ditanyakan oleh konselor yang meliputi: penampilan jasmaniah, gaya dan sikap, gerakan dan isyarat-isyarat, sikap badan, suasana lingkungan, perbedaan dalam status sosial, jarak duduk antara konselor dan klien serta kontak mata. Hal-hal yang diamati dan pernyataan-pernyataan dapat dilihat pada uraian di bawah ini;
(a)    Penampilan Jasmani Klien
Apakah jasmani klien menimbulkan masalah baginya?
(b)   Gaya dan Sikap
Apakah klien tanpak gugup rendah diri?
(c)    Gerakan dan Isyarat-isyarat
apakah klien tanpak diam saja atau banayak gerak?
(d)   Sikap Badan
Apakah ia duduk tegap? Membungkuk?
(e)    Perbedaan Dalam Status Sosial
Apakah pakaian klien menunjukan kemiskinannya? Kekakayaannya?
(f)    Jarak Duduk Antara Konselor dan Klien
Apakah duduk terlalu dekat dengan konselor sehingga klien menjadi takut karena jarak yang dekat itu?
(g)   Kontak Mata
Apakah klien mampu melihat penyuluh dengan tatapan mata, ataukah menghindar dari tatapan mata konselor?
Cakhuff (1983) menyatakan bahwa yang hendaknya diobservasikan konselor adalah dimensi fisik klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.
a.      Mengobsevasikan Dimensi Fisik Klien
Dengan mengobservasikan dimensi fisik klien, konselor dapat mempelajari level energi kliennya. Level energi klien itu atau penting diketahui karena level energi adalah jumlah fisik yang dikerahkan untuk mencapai tujuan.
b.      Mengobservasikan Dimensi Emosional
(1)   Postur tubuh
Jika bahu dan kepala meliuk-liuk ke bawah dapat menunjukan perasaan putus asa, Jika otot-otot kelihatan kaku dan tegang dapat merupakan indikasi dari adanya ketegangan perasaan. Jadi dari postur  tubuh dapat menjadi petunjuk apakah klien dalam keadaan depresi, ketegangan-ketegangan, atau dalam keadaan emosi yang sehat dan gembira.
(2)   Tingkah laku (behavior)
Tingkah laku merefleksikan indikator yang serupa dengan postur tubuh. Gerakan-gerakan yang lamban menunjukkan perasaan putus asa, dan gerakan-gerakan yang tergesa-gesa disertai dengan kegemetaran menunjukkan tegang.
(3)   Eksprasi wajah
Dari ekspresi wajah dapat dibaca apakah klien gembira, takut, marah, sedih, bosan, dan sebagainya.
c.       Mengobservasikan Dimensi Intelek
Tingkat kesiapan intelek klien menunjukan siapnya klien untuk memuaskan diri pada tugas-tugas mereka. Level intelektual yang tinggi menunjukkan klien siap melakukan tugas, sedangkan sebaliknya tidak. Seperti halnya mengobservasi dimensi emosional, konselor dapat mengobservasi level intelektual melalaui tiga bidang yaitu;
a.      Postur tubuh
Postur tubuh yang loyo dapat menunjukkan kurangnya persiapan klien untuk konseling dan proses belajar yang bakal terjadi selama proses konseling berlangsung.
b.      Tingkah laku (behavior)
Tingkah laku yang tidak bertujuan dapat menunjukkan tanda menghindari belajar yang akan terjadi dalam proses konseling.
c.       Ekspresi wajah
Ekspresi wajah dapat menunjukkan level pemusatan minat pada pengalaman konseling yang sedang dihadapi. Wajah yang kelihatan pucat menunjukkan takut, wajah yang bimbang menunjukkan klien belum siap melakukan tugas yang akan dihadapi atau keputusan yang akan dilaksanakan.

F.             MENDENGARKAN
Ekspresi verbal adalah sumber input yang paling sering digunakan dalam proses konseling. Apa-apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya adalah merupakan tentang cara klien melihat dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Jika konselor memperhatikan klien secara penuh dan tak terbagi, maka konselor akan siap untuk mendengarkan ekspresi verbal klien. Menurut Carkhuff (1983) ada sedikitnya empat cara untuk mengmbangkan keterampilan mendengarkan, yaitu;
a.      Alasan Mengapa Konselor Mendengarkan
Sebagai konselor yang baik, konselor hendaknya tahu mengapa ia mendengarkan konselor harus mempunyai alasan mengapa ia mendengarkan. Tujuannya adalah mengumpulkan informasi yang ada hubungannya dengan masalah yang klien hadapi dan tujuan yang dikemukakan oleh klien.
b.      Menunda Penilaian (Judgment)
Konselor harus tidak buru-buru menilai apa yang dikatakan klien, setidak-tidaknya di awal-awal konseling. Konselor hendaknya memberi kesempatan klien mengemukakan isi hatinya tanpa ia mencoba membuat keputusan atau penilaian yang dikemukakn klien itu.
c.       Pemusatan Pada Klien
Konselor hendaknya dapat memusatkan perhatiaanya pada klien dengan menyingkirkan penggunaan dari luar. Banyak hal yang terjadi di luar yang tidak membantu konselor dalam mendengarkan. Jadi yang paling penting dalam mendengarkan adalah memusatkan perhatian pada klien.
d.      Memusatkan Pada Isi
Mendengarkan pada klien juga berarti konselor harus memusatkan diri pada isi yang dikemukakan oleh klien secara lisan itu. Dalam memusatkan pada isi itu, konselor ingin mendapatkan kepastian yang rinci tentang pengalaman klien. Menurut Carkhuff (1981) berarti yang harus diperhatikan konselor meliputi; Siapa? Apa? Mengapa? Kapan? Diamana? Bagaimana? Dengan memusatkan jawaban pada pertanyaan-pertanyaan itu konselor dapat yakin bahwa ia telah memperoleh pengetahuan tentang isi pengalaman klien.
e.       Memusatkan Pada Ekspresi Klien
Pemusatan ini dilakukan agar konselor dapat mengingat isi dan perasaan yang diekspresikan klien. Dengan pemusatan ini konselor yang menangkap ekspresi singkat klien dapat mengingat keseluruhan ekspresi klien yang dikemukakan dengan kata-kata yang panjang, konselor diharapkan dapat mengingat intisari dari ekspresi itu.

f.        Mendengarkan Tema
Konselor juga harus belajar mengingat ekspresi klien dalam priode waktu yang agak lama. Yang konselor harus temukan untuk dapat mengingat ekspresi klien itu adalah tema umum dari pengalaman klien.


















BAB III
PENUTUP

A.      KESIMPULAN
Konteks atau kondisi fisik ruangan konseling harus disiapkan sedemikian rupa sehingga klien merasa aman, tenang, rileks, dan senang. Perasaan-perasaan ini merupakan kondisi bagi klien untuk dapat terbuka dan “involve” secara penuh selama konseling. Ruang konseling hendaknya cukup luas, bersih, tenang, dan berventilasi agar klien yang berada dalam ruangan itu merasa segar dan nyaman.
Selain konteks, diri konselor sendiri juga perlu disiapkan agar ia dapat menjalankan tugasnya dengan baik dalam konseling awal dan juga pada tahap-tahap selanjutnya. Selain konteks dan konselor, klien juga harus dipersiapkan sebaik mungkin agar ia dapat berpartisipasi aktif dalam proses konseling selanjutnya.
Keterampilan melayani klien (attending) secara pribadi oleh konselor juga merupakan hal yang sangat penting tidak saja pada tahap awal konseling tetapi juga pada seluruh tahap-tahap konseling. Dengan melayani klien secara pribadi itu memungkinkan konselor mengobservasi dan mendengarkan kliennya secara lebih baik. Melalui observasi, konselor dapat melihat dimensi fisik klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.
Keterampilan mendengarkan sangat diperlukan bukan saja pada proses konseling awal, tetapi juga sepanjang hubungan konseling.




DAFTAR PUSTAKA

Carkhuff, Rober R. 1983. The art of helping. Massachusetss: Human Resource Devloment Press. Inc.
Comier, W.H., dan Cormier, L.S. 1985  Interview Strategies For Helpers (second edition). California: Wadswordth, Inc.
Egan, Gerard, 1975 The Skilld Helper (second edition). Montery, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Munro, E.A.,dkk. 1979. Penyuluhan (counselling). Suatu Pendekatan Berdasarkan Keterampilan. Diterjemahkan oleh Drs. Erman Amti dan disunting oleh Dr. Prayitno, M.Sc. Ed. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tryler. L.E. 1961. The Work Of Counselor (3rd ed). New York: Appleton-Century-Crofts.