TUGAS KELOMPOK
I
PENGEMBANGAN
TATA FORMASI DAN IKLIM HUBUNGAN KONSELING AWAL
MATA KULIAH : TEHNIK
DAN LABORATORIUM
DOSEN
PENGASUH : YENI
RIZAL, M.Pd
DI SUSUN
OLEH
ABDUL
MALIK Nim: (121000056)
MUHAMMAD ADIN Nim: (121000040)
SARAN Nim: (121000082)
SUSANTI Nim: (121000028)
SUDARMAN Nim: (121000059)
SHINTA
H.W Nim: (121000140)
VERONIKA Nim: ( )
KELAS : A SORE
SEMESTER : VI
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PERSATUAN
GURU REPUBLIK INDONESIA
(STKIP-PGRI)
PONTIANAK
2013
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................... 1
A.
LATAR BELAKANG MASALAH................................................... 1
B.
RUMUSAN MASALAH................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A. MENYIAPKAN KONTEKS............................................................ 3
B. MENYIAPKAN DIRI KONSELOR SENDIRI............................. 5
C. MENYIAPKAN KLEIN UNTUK KONSELING.......................... 9
D. MELAYANI (ATTENDING) SECARA PRIBADI....................... 12
E. MENGOBSERVASI........................................................................ 13
F. MENDENGARKAN........................................................................ 15
BAB III PENUTUP
A. KESIMPULAN………………………………………………......... 18
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 19
KATA PENGANTAR
Dengan segala puji
bagi Tuhan Yang Maha Esa, rasa syukur yang tak terhingga kami panjatkan
kehadirat-Nya. Atas segala nikmat yang telah diberikan-Nya, yang tak dapat
dihitung jumlahnya, berkat hidayah, inayah dan kasih sayang-Nya kami bisa
menyelesaikan makalah ini, walaupun kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan karena hanya inilah batas kemampuan kami, dan masih membutuhkan
bimbingan, arahan, serta koreksi demi kebaikan pembuatan makalah ini yang untuk
selanjutnya.
Kami menyadari bahwa
dalam makalah ini masih terdapat kekurangan dan kehilafan. Oleh karena itu,
kepada para pembaca dan pendengar ( audien ) dan para pakar, penulis
mengharapkan saran dan kritik konstruktif
demi kesempurnaan makalah ini.
Semoga tuhan
melimpahkan rahmat dan hidayahnya kepada kita sekalian.
Amin.
Pontianak, 14 Maret 2013
Penulis.........
|
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG MASALAH
Kontak pertama antara konselor dan klien umumnya akan mempengaruhi
kelangsungan pertemuan dan hubungan selanjutnya serta tercapai tidaknya tujuan
konseling. Karena itu hubungan yang akrab antara konselor dan klien harus di
tumbuhkan dan dibina terus baik dalam pertemuan awal maupun dalam
pertemuan-pertemuan selanjutnya.
Klien datang ke konselor atas kemaun sendiri atau dikirim oleh
orang lain ataupun konselor itu sendir yang menginginkan klien agar datang
kepadanya, umumnya diliputi oleh keragu-raguan dan kecemasan serta mungkin pula
takut apakah ia bebas mengemukan perasaa-perasaan atau masalah-masalah. Klien
bertanya-tanya dalam dirinya apakah ia diterima dengan baik oleh konselor,
apakah ia dapat mempercayai konselor, apakah rahasianya tidak dibocorkan kepada
orang lain, apakah hubungan dengan konselor dapat dibina dan memuaskan,
dapatkah konselor membantunya, dan sebagainya. Kalau perasaan-perasaan dan
keragu-raguan tersebut tidak segera dihilangkan akan dapat mengganggu hubungan
konselor dan klien. Mungkin klien menjadi takut dan memutuskan diri untuk tidak
meneruskan hubungan konseling. Kalaupun hubungan konseling itu berlanjut
mungkin klien tidak “involve” dengan penuh bahkan bisa pula defensif atau
sebaliknya menjadi pasif dan tertutup. Ketidakterbukaan dan kurangnya
kepercayaan klien kepada konselor itu dapat menghambat klien dalam
mengeksplorasi dirinya sendiri dan situasi masalah yang dihadapinya. Jika
keadaan ini terus berlanjut maka gagallah pencapaian tujuan konseling.
Untuk itu konselor harus bisa membangun hubungan baik dengan klien,
sehingga klien mau “involve”, terbuka, dan aktif selama proses konseling.
Munro, dkk. (1978) menyarankan agar konselor bersikap empatis, menghargai, dan
peka. Hal ini karena klien mempunyai keinginan untuk merasakan bahwa konselor
mampu melihat keadaan yang dihadapi klien sebagaimana klien itu melihatnya dan
dapat ikut merasakan perasaan yang dialami klien, serta dapat menerima
sebagaimana adanya kerangka berpikir klien. Klien akan mereaksi secara positif
terhadap tindakan konselor yang besahabat, bersikap membantu dan penuh
pertimbangan yang matang.
B.
RUMUSAN
MASALAH
a.
Menyiapkan
Konteks ?
b.
Menyiapkan
Diri Konselor Sendiri?
c.
Menyiapkan
Klien Untuk Konselor?
d.
Melayani
(Attending) Secara Pribadi?
BAB II
PEMBAHASAN
Bertolak dari pendapat Munro, dkk.
(1979), Charkhuff (1983), Cormier dan Cormier (1985) maka dalam bab ini akan
dipelejari berbagai prosedur dan keterampilan yang diperlukan dalam
mengembangkan tata formasi dan iklim hubungan konseling awal yang baik yang
meliputi :
1.
Menyiapkan
kondisi fisik ruangan konseling, posisi tempat duduk, jarak dan sikap duduk
konselor dan klien.
2.
Menyiapkan
mental klien dan konselor untuk memulai hubungan konseling.
3.
Menerima
klien secara akrab dengan berbagai cara seperti : melayani klien secara
pribadi, mengobservasi dan mendengarkan secara baik, dan menciptakan hubungan
baik (rapport).
4.
Melaksanakan
penstrukturan.
A.
MENYIAPKAN
KONTEKS
Ketermapilan menyiapkan konteks atau kondisifisik ruangan
konseling yang memungkinkan klien merasa aman, tenang, rileks, dan senang
sangat diperlukan bagi seorang konselor yang profesional. Pertanyaan-pertanyaan
berikut ini hendaknya dipertimbangkan dalam menyiapkan konteks. Apakah
konseling dilakukan dalam suasan hubungan empat mamta atau “face to face”?
Apakah sifat hubungan itu tidak resmi? Adakah keadaan ruangan itu cukup
menyenangkan? Adakah tempat duduknya enak dan diletakkan dalam posisi yang tepat? Dan masih banyak lagi pertimbangan-pertimbngan
yang diperlukan dalam menyiapkan konteks ini. Dengan demikian penyiapan konteks
ruangan konseling meliputi pengaturan dekorasi ruangan, pengaturan tempat
duduk, dan pengaturan jarak tempat duduk konselor dan klien, letak tempat duduk
klien dan ruangan konseling.
a.
Pengaturan
Dekorasi Ruangan
Dekorasi ruangan konseling
hendaknya memungkinkan klien dapat mengenalinya dan dipilih dekorasi
yang klien sudah familiar dengannya. Misalnya, jika klien serang mahasiswa maka
dekorasi yang dipilih hendaknya berupa gambar buku, foto kampus, gambar ruang
kuliah, gambar toga, atau foto seorang wisudawan/wisudawati. Gambar benda-benda
atau situasi tersebut telah dikenal secara baik oleh klien dan mengenakakn atau
menyenangkannya. Dalam ruangan itu klien akan merasa senang, kerasan dan enak.
Dalam suasana seperti itu klien akan terlibat (involve) secara penuh dalam
prose konseling.
b.
Pengaturan
Tempat Duduk
Pengaturan tempat duduk hendaknya memungkinkan klien dapat
berkomunikasi secara terbuka. Untuk itu konselor dan klien hendaknya duduk di
kursi, berhadap-hadapan satu sama lain tanpa meja atau bangku yang menghalangi
klien dan konselor.
c.
Jarang
Tempat Duduk Konselor Dan Klien
Jauh dekatnya jarak tempat duduk konselor dan klien dapat pula
mempengaruhi keakraban hubungan dalam konseling. Jika tempat duduk konselor
jauh dari tempat duduk klien akan cendrung menimbulkan susana hubungan yang
kurang akrab dan klien menjadi kurang “involve” dalam proses konseling.
Sebaliknya jika jarak tempat duduk konselor dan klien terlalu dekat dapat
menimbulkan suasana hubungan yang kaku, terbatas dan merisihkan. Akibat yang
terjadi addalah klien menjadi makin lebih tertutup dan defensif. Karena itu
jarak tempat duduk konselor dan klien tidak terlalu jauh atau terlalu dekat.
d.
Letak
Tempat Duduk Klien
Tempatkan kursi tempat duduk klien sedemikian rupa sehingga memungkinkan
klien dapat melemparkan pandangannya keluar jendela. Sedapat mungkin hindari
penempatan duduk klien yang membelakakangi jendela. Dengan tempat duduk yang
sedemimkian itu memungkinkan klien merasa bebas, enak, dan tidak tertekan.
Sebaliknya jika klien mebelakakngi jendela maka pandangan klien akan hanya
terbatas pada konselor dan ruangan sekitarnya saja. Keterbatasan itu dapat
menimbulkan rasa tidak enak, kikuk, dan kurang bebas.
e.
Ruangan
Konseling
Usahakan pelaksanaan konseling di ruang khusus untuk itu agar klien
merasa aman dan bebas mengemukakan masalahnya tanpa khawatir didengar oleh
orang lain. Keberadaan konselor dan klien berduaan dalam ruang konseling ini,
trutama jika klien berlainan jenis kelaminnya, dinilai bertentangan dengan
ajaran islam. Untuk itu ahli konseling dan ahli agama islam menyarankan agar
konseling dilaksanakan oleh konselor pria jika kliennya pria, dan oleh konselor
wanita jika kliennya wanita.
B.
MENYIAPKAN
DIRI KONSELOR SENDIRI
Pentingnya
menyiapkan diri konselor sendiri sama pentingnya dengan menyiapkan klien dan
konteks atau kondisi fisik ruangan
konseling. Persiapan diri konselor ini menurut Carkhuff (1983) meliputi (a)
pengumpulan data tentang diri klien, (b) mengkaji tujuan konseling atau bantuan
yang akan diberikan, dan (c) membuat diri konselor rileks. Sedangkan menurut
Munro, dkk. (1979) yang perlu dipersiapan
oleh konselor menjelang konseling awal ini meliputi (a) perlunya
dipertimbangkan apakah klien itu datang secara suka rela atau tidak, (b)
informasi data yang dihungkan dengan klien, (c) pengetahuan tentang hakekat dan
kadar masalah, (d) mengkaji tujuan konseling, dan (e) kadar usaha pemberian
bantuan.
Dari pendapat
Carkhuff dan Munro, dkk, tersebut di atas dapat dipertimbangkan jenis persiapan
yang benar diperlukan oleh konselor untuk kelancaran pelaksanaan konseling
awal. Persiapan yang diperlukan konselor seperti yang dijelaskan dibawah ini.
a.
Perlunya
Diketahui Klien Apakah Klien Itu Datang
Secara Sukarela Atau Tidak
Jika kita datang ke konselor atas kemauan sendiri, maka konselor
dapat memperkirakan bahwa hubungan konseling akan lebih mudah dimulai, karena
klien lebih dahulu telah mempunyai niat untuk meminta bantuan.Hal ini setidak- tidaknya
menunjukkan bahwa klien telah mengenal
maslahnya dan berhasrat untuk memperbaiki dirinya.
Jika klien datang ke konseling bukan atas kemauannya sendiri, maka
akan sangat menguntungkan jika konselor melakukan hal-hal seperti yang
disarankan oleh Munro, dkk (1979) berikut ini.
(1)
Menanyakan
siapa yang menyuruh klien datang ke konselor.
(2)
Memberikan
alasan mengapa klien diminta datang menghadap konselor.
(3)
Mengemukakan
kepada klien tentang hal-hal yang dapat diberikan oleh seorang konselor.
(4)
Mengajar
klien untuk mengemukakan perasaan yang dialaminya dalam suasana saat itu. Apakah
dia marah, takut, binngung, tidak menentu dan sebagainya.
(5)
Menjelaskan
bahwa klien bebas memilih satu di antara beberapa konselor yang ada di sekolah
itu.
(6)
Menjelaskan
bahwa klien bebas memilih untuk tetap
berada di tempat itu bersama konselor atau pergi meninngalkan konselor.
b.
Pengenalan
Data Tentang Diri Klien
Tugas konselor dalam wawancara awal dan tahap-tahap konseling
selanjutnya akan diperlancar jika konselor mengetahui latar belakang hidup
klien secara lebih dalam. Jika klien telah pernah konsultasi maka diperlukan
data latar belakang klien dari intraksi-intraksi yang pernah dilakukan itu.
Informasi, kemajuan-kemajuan yang telah dicapai, catatan-catatan formal, dan
kesan-kesan frormal yang ada, serta rekaman-rekaman lainnya tentang diri klien.
Jika klien belum pernah mendapatkan konseling maka informasi dan
data yang diperlukan oleh konselor tergantung atas pertimbangan berikut ini:
(a)
Selera
Konselor
Ada konselor yang lebih suka informasi dan data tentang latar belakang
klien sebelum pertemuan pertama agar dapat memahami diri klien mendalam
sehingga dapat menghemat waktu. Sebaliknya ada pula konselor yang lebih suka
mendapatkan informasi tentang latar belakang klien secara langsung sambil
berwawancara dengan klien.
(b)
Kadar
Usaha Pemberian Bantuan
Bagi pemberian bantuan yang lama, mendalam dan penuh liku-liku, dan
pembahasan tentang suasana dan perkembangan kejiwaan akan memerlukan lebih
banyak informasi tentang latar belakang klien daripada untuk suatu usaha
pemberian nasehat.
(c)
Hakikat
Dan Kadar Masalah
Jika masalah klien menyangkut perubahan yang besar dari
kepribadiaannya , maka informasi yang mendalam tentang latar belakang klien
sangat diperlukan.
(d)
Tujuan
konseling
Jika tujaun konseling adalah untuk membantu klien agar ia bebas
dari pola-pola tingkah laku emosional yang telah berurat-berakar sejak masa
kanak-kanak, maka data yang diperlukan informasi tentang kehidupan klien sejak
kecil, pola kehidupan keluarganya, dan pola asuh dalam keluarga itu.
(e)
Ketepatgunaan
Informasi
Informasi tentang berbagai jenis lapangan pekerjaan akan lebih
tepat dan berguna untuk konseling jabatan, tetapi mungkin kurang cocok untuk konseling
perkawinan,. Informasi tentang bakat dan minat seorang akan cocok untuk konseling
pilihan jurusan, tetapi kurang cocok untuk keperluan konseling masalah sosial
anatr muda-mudi.
(f)
Ketersediaan
Informasi
Informasi tentang latar belakang klien tidak selalu tersedia dan
kalaupun tersedia tidak dapat dengan mudah diberikan kepada orang atau lembaga
lain yang memerlukan. Informasi tentang diri klien yang berada di sauatu
lembaga pendidikan seperti SLTP, SLTA dan perguruan tinggi umumnya tersedia
berupa daftar pribadi, otobiografi, dan catatan-catatan lainnya yang mudah
diperoleh dan digunakan oleh konselor dari lembaga pendidikan yang
bersangkutan.
c.
Mengkaji
Tujuan Konseling
Kajian tentang tujuan konseling ini ditentukan pada tujuan yang
ingin dicapai oleh tahap awal dari intraksi yang sifatnya membantu itu. Tujuan
konseling tahap awal ini adalah membuat klien aktif dalam mengeksplorasi
pengalaman-pengalaman sehubungan dengan masalah yang dihadapinya. Untuk
mencapai tujuan ini konselor harus menyiapkan klien dengan berbagai cara
seperti memikat klien, memberi informasi tentang hakikat layanan konseling, dan
mendorong klien untuk memamfaatkan bantuan konseling tersebut.
d.
Membuat
Diri Konselor Rileks
Konselor hendaknya dapat membuat dirinya sendiri merasa rileks.
Yaitu rileks pikirannya dan badannya untuk menghadapi konseling yang akan
segera dilaksanakan.untuk membuat rileks pikirannya, konselor dapat mencapainya
dengan memikirkan hal-hal yang menyenangkan dan pengalaman-pengalaman yang
serba mulus, lancar dan mengembirakan.
C.
MENYIAPKAN
KLIEN UNTUK KONSELING
Kesedian klien
“involve” dalam proses konseling akan tergantung pada seberapa baik konselor
menyiapkan kliennya. Menurut Carkhuff (1983) ada tiga cara atau prosedur untuk
menyiapkan klien yaitu :
(a)
Memikat
klien
(b)
Memberi
informasi tentang etika konseling dan konselor yang dapat dipilih, dan
(c)
Mendorong
klien untuk mengambil konseling dengan serius.
Tidak
involvenya klien secara penuh dalam proses konseling itu oleh Egan (1982)
dinamakan “reluctant” dan “resistant” adalah keadaan atau sikap klien yang
enggan datang ke konseling sebab kedatangannya bukan atas kemauannya sendiri. Klien
yang “resistant” datang ke konseling secara setengah hati. Semula klien
“reluctant” dan sekarang sudah dapat mengatasi “reluctant”nya itu tetapi belum
berhasil sepenuhnya. Ia masih setengah hati. Menurut Egan (1982) sebab dari
“reluctant” dan “resistant” itu ada 18 macam, beberapa di antaranya adalah:
(a)
Klien
tidak mengerti mengapa harus pergi ke konseling untuk pertama kalinya;
(b)
Klien
yang dikirim oleh guru, orang tua, atau lembaga lain;
(c)
Klien
yang takut karena belum tau hakikat konseling;
(d)
Klien
yang tidak tahu bagaiman berpartisipasi secara efektif dalam konseling, dan;
(e)
Klien
yang tidak suka pada konselor.
Melihat
sebab-sebab klien kurang “involve” seperti tersebut di atas maka konselor harus
menyiapkan klien dengan baik agar ia merasa aman, diterima, dihargai sehingga
terciptalah hubungan baik(“rapport”). Untuk itu perlu usaha-usaha sebagai
berikut ini.
(a)
Memikat
klien
Menurut Carkhuff (1983) memikat klien beraarti menyebut klien secara
formal dan berusaha mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan hubungan
konseling. Egan (1983) menyatakan bahwa penyambutan klien dalam rangka
membangun “rapport” itu dapat diwujudkan dengan sikap empati, sebab dengan
sikap empatiini akan dapat mengembangkan keterbukaan dan kepercayaan pada diri
klien sehingga ia mampu mengeksplorasi dirinya sendiri dan masalah-masalahnya.
Dengan demikian prosedur atau cara memikat klien agar mau
berpartisipasi aktif dalam konseling dapat meliputi berbagai usaha untuk menyambut
klien secara formal tetapi masih bersipat hangat, dan berbagai usaha untuk
mewujudkan kerangka acuan mengenai tujuan konseling.
1.
Menyambut
klien secara formal dan hangat, dapat terdiri dari:
a.
Mengucapkan
salam,
b.
Berjabat
tangan,
c.
Mempersilahkan
duduk,
d.
Menyebut
nama klien (kalau sudah kenal namanya) atau menanyakan nama klien (kalau belum
kenal sebelumnya),
e.
Memperkenalkan
nama konselor,
f.
Mebicarakan
hal-hal yang menarik yang sempat ditangkap dari pertemuan yang singkat itu.
2.
Mewujudkan
kerangka acuan mengenai tujuan hubungan konseling, dapat dilakukan dengan:
a.
Mengemukan
tujuan klien datang pada konselor, misalnya “Baiklah, saya kira Anda datang
kemari karena ada sesuatu masalah yang mengganggu Anda”
b.
Kalau
dengan kata-kata konselor tersebut klien belum juga mau terbuka, maka konselor
dapat menambahkan penjelasan lebih lanjut sebagai berikut: “Rupanya Anda belum
begitu memahami hakikat dan tujuan layanan konseling ini.
(b)
Memberi
informasi
Mungkin saja klien masih ragu-ragu untuk mengemukakan masalahnya.
Bebagai perasaan was-was berkecamuk dalam dirinya, ia merasa takut kalau
rahasianya diketahui orang lain. Dalam keadaan seperti ini konselor hendaknya
memberikan informasi-informasi yang diperkirakan dapat menghilangkan
keragu-raguan klien itu. Informasi-informasi itu antara lain diuraikan di bawah
ini.
1.
Etika
konseling; mungkin keragu-raguan klien itu disebabkan
karena klien belum memahami kode etik konseling.
2.
Konselor
yang dapat dipilih; untuk
menyakinkan klien bahwa konseling itu menjamin kebebasan klien dapat mewujudkan
melalui adanya kesempatan klien untuk memilih konselor mana yang klien sukai
untuk berkonsultasi.
(c)
Mendorong
klien untuk mengambil konseling
Agar
klien mau “involve” dalam proses konseling dapat pula dilakukan dengan
memotivasi klien dengan cara memberi penjelasan tentang alasan-alasan mengapa
ia harus aktif berpatisipasi dalam proses konseling. Dalam hal ini konselor
dapat berkata dengan berbagai cara, misalnya;
1.
“Jika
anda aktif dalam proses konseling ini Anda akan dapat menemukan sendiri jalan
keluar dari masalah yang Anda hadapi saat ini dalam waktu yang tidak terlalu
lama”.
2.
“Konseling
ini akan memerlukan sekitar tiga kali pertemuan yang tiap pertemuannya
memerlukan waktu sekitar 30 menit. Jika Anda aktif mengungkap latar belakang
masalah Anda dan aktif memikirkan jalan keluar dari masalah tersebut mungkin
masalah anda akan segera teratasi, tetapi kalau Anda pasif dan tertutup mungkin
akan memerlukan waktu lebih banyak lagi”.
Prosedur ini
dapat pula dinamakan “kontrak” atau kesepakatan untuk mengambil konseling
sesuai dengan prosedur tertentu yang telah disepakati bersama oleh klien dan
konselor.
D.
MELAYANI
(ATTENDING) SECARA PRIBADI
Carkhuff (1983) menyatakan bahwa melayani secara
pribadi mungkin klien dapat merasa dekat dengan konselor, sehingga dapat
mengkomunikasikan minat dan perhatian klien. Menurut Carkhuff melayani secara
pribadi adalah usaha konselor untuk menempatkan diri sedemikian rupa sehingga
dapat memberi perhatian secara penuh dan tak terbagi pada klien. Karena itu
melayani secara pribadi menekankan pentingnya konselor menghadapi klien secara
penuh dengan;
a.
Menghadap
Secara Tepat Pada Klien
Salah satu sikap konselor dalam menghadapi klien adalah menghadapinya
secara penuh. Apakah konselor berdiri atau duduk, konselor harus menghadap pada
klien secara tepat, yaitu bahu kiri
konselor lurus dengan bahu kanan klien, dan bahu kanan konselor lurus
dengan bahu kiri klien.
b.
Condong
ke Depan
Cara konselor
mengahadapi klien secara pribadi yang ke dua adalah menyodorkan badan kedepan. Misalnya
jika konselor duduk, maka konselor harus menyodorkan badannya ke depan ke arah
klien yang sedang duduk atau sedang dihadapi oleh konselor.
c.
Menatap
Mata Klien
Konselor dapat berkomunikasi secara penuh perhatian jika ia
memelihara “kontak mata” dengan klien yang dihadapinya. Melalui usaha konselor
melakukan “kontak mata” itu, klien akan sadar bahwa ia sedang diperhatikan
secra psikologi.
E.
MENGOBSERVASI
Keterampilan
yang paling penting yang dihasilkan atau
yang diperlukan oleh “attending” secara pribadi adalah keterampilan
mengobservasi. Megobservasi adalah keterampilan membantu yang paling dasar.
Observasi adalah sumber dari belajar konselor tentang klien.
Munro, dkk.
(1979) selanjutnya menyarankan hal-hal yang mungkin diamati dan ditanyakan oleh
konselor yang meliputi: penampilan jasmaniah, gaya dan sikap, gerakan dan
isyarat-isyarat, sikap badan, suasana lingkungan, perbedaan dalam status
sosial, jarak duduk antara konselor dan klien serta kontak mata. Hal-hal yang
diamati dan pernyataan-pernyataan dapat dilihat pada uraian di bawah ini;
(a)
Penampilan
Jasmani Klien
Apakah
jasmani klien menimbulkan masalah baginya?
(b)
Gaya
dan Sikap
Apakah
klien tanpak gugup rendah diri?
(c)
Gerakan
dan Isyarat-isyarat
apakah
klien tanpak diam saja atau banayak gerak?
(d)
Sikap
Badan
Apakah
ia duduk tegap? Membungkuk?
(e)
Perbedaan
Dalam Status Sosial
Apakah
pakaian klien menunjukan kemiskinannya? Kekakayaannya?
(f)
Jarak
Duduk Antara Konselor dan Klien
Apakah
duduk terlalu dekat dengan konselor sehingga klien menjadi takut karena jarak
yang dekat itu?
(g)
Kontak
Mata
Apakah
klien mampu melihat penyuluh dengan tatapan mata, ataukah menghindar dari
tatapan mata konselor?
Cakhuff (1983)
menyatakan bahwa yang hendaknya diobservasikan konselor adalah dimensi fisik
klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.
a.
Mengobsevasikan
Dimensi Fisik Klien
Dengan
mengobservasikan dimensi fisik klien, konselor dapat mempelajari level energi
kliennya. Level energi klien itu atau penting diketahui karena level energi adalah
jumlah fisik yang dikerahkan untuk mencapai tujuan.
b.
Mengobservasikan
Dimensi Emosional
(1)
Postur
tubuh
Jika
bahu dan kepala meliuk-liuk ke bawah dapat menunjukan perasaan putus asa, Jika
otot-otot kelihatan kaku dan tegang dapat merupakan indikasi dari adanya
ketegangan perasaan. Jadi dari postur
tubuh dapat menjadi petunjuk apakah klien dalam keadaan depresi,
ketegangan-ketegangan, atau dalam keadaan emosi yang sehat dan gembira.
(2)
Tingkah
laku (behavior)
Tingkah
laku merefleksikan indikator yang serupa dengan postur tubuh. Gerakan-gerakan
yang lamban menunjukkan perasaan putus asa, dan gerakan-gerakan yang
tergesa-gesa disertai dengan kegemetaran menunjukkan tegang.
(3)
Eksprasi
wajah
Dari
ekspresi wajah dapat dibaca apakah klien gembira, takut, marah, sedih, bosan,
dan sebagainya.
c.
Mengobservasikan
Dimensi Intelek
Tingkat
kesiapan intelek klien menunjukan siapnya klien untuk memuaskan diri pada
tugas-tugas mereka. Level intelektual yang tinggi menunjukkan klien siap
melakukan tugas, sedangkan sebaliknya tidak. Seperti halnya mengobservasi
dimensi emosional, konselor dapat mengobservasi level intelektual melalaui tiga
bidang yaitu;
a.
Postur
tubuh
Postur
tubuh yang loyo dapat menunjukkan kurangnya persiapan klien untuk konseling dan
proses belajar yang bakal terjadi selama proses konseling berlangsung.
b.
Tingkah
laku (behavior)
Tingkah
laku yang tidak bertujuan dapat menunjukkan tanda menghindari belajar yang akan
terjadi dalam proses konseling.
c.
Ekspresi
wajah
Ekspresi
wajah dapat menunjukkan level pemusatan minat pada pengalaman konseling yang
sedang dihadapi. Wajah yang kelihatan pucat menunjukkan takut, wajah yang
bimbang menunjukkan klien belum siap melakukan tugas yang akan dihadapi atau
keputusan yang akan dilaksanakan.
F.
MENDENGARKAN
Ekspresi verbal
adalah sumber input yang paling sering digunakan dalam proses konseling.
Apa-apa yang dikatakan dan bagaimana mengatakannya adalah merupakan tentang
cara klien melihat dirinya sendiri dan dunia di sekitarnya.
Jika konselor
memperhatikan klien secara penuh dan tak terbagi, maka konselor akan siap untuk
mendengarkan ekspresi verbal klien. Menurut Carkhuff (1983) ada sedikitnya
empat cara untuk mengmbangkan keterampilan mendengarkan, yaitu;
a.
Alasan
Mengapa Konselor Mendengarkan
Sebagai
konselor yang baik, konselor hendaknya tahu mengapa ia mendengarkan konselor
harus mempunyai alasan mengapa ia mendengarkan. Tujuannya adalah mengumpulkan
informasi yang ada hubungannya dengan masalah yang klien hadapi dan tujuan yang
dikemukakan oleh klien.
b.
Menunda
Penilaian (Judgment)
Konselor
harus tidak buru-buru menilai apa yang dikatakan klien, setidak-tidaknya di
awal-awal konseling. Konselor hendaknya memberi kesempatan klien mengemukakan
isi hatinya tanpa ia mencoba membuat keputusan atau penilaian yang dikemukakn
klien itu.
c.
Pemusatan
Pada Klien
Konselor
hendaknya dapat memusatkan perhatiaanya pada klien dengan menyingkirkan
penggunaan dari luar. Banyak hal yang terjadi di luar yang tidak membantu
konselor dalam mendengarkan. Jadi yang paling penting dalam mendengarkan adalah
memusatkan perhatian pada klien.
d.
Memusatkan
Pada Isi
Mendengarkan
pada klien juga berarti konselor harus memusatkan diri pada isi yang
dikemukakan oleh klien secara lisan itu. Dalam memusatkan pada isi itu,
konselor ingin mendapatkan kepastian yang rinci tentang pengalaman klien.
Menurut Carkhuff (1981) berarti yang harus diperhatikan konselor meliputi;
Siapa? Apa? Mengapa? Kapan? Diamana? Bagaimana? Dengan memusatkan jawaban pada
pertanyaan-pertanyaan itu konselor dapat yakin bahwa ia telah memperoleh
pengetahuan tentang isi pengalaman klien.
e.
Memusatkan
Pada Ekspresi Klien
Pemusatan
ini dilakukan agar konselor dapat mengingat isi dan perasaan yang diekspresikan
klien. Dengan pemusatan ini konselor yang menangkap ekspresi singkat klien
dapat mengingat keseluruhan ekspresi klien yang dikemukakan dengan kata-kata
yang panjang, konselor diharapkan dapat mengingat intisari dari ekspresi itu.
f.
Mendengarkan
Tema
Konselor
juga harus belajar mengingat ekspresi klien dalam priode waktu yang agak lama.
Yang konselor harus temukan untuk dapat mengingat ekspresi klien itu adalah
tema umum dari pengalaman klien.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Konteks atau kondisi fisik ruangan konseling harus disiapkan
sedemikian rupa sehingga klien merasa aman, tenang, rileks, dan senang.
Perasaan-perasaan ini merupakan kondisi bagi klien untuk dapat terbuka dan
“involve” secara penuh selama konseling. Ruang konseling hendaknya cukup luas,
bersih, tenang, dan berventilasi agar klien yang berada dalam ruangan itu
merasa segar dan nyaman.
Selain konteks, diri konselor sendiri juga perlu disiapkan agar ia
dapat menjalankan tugasnya dengan baik dalam konseling awal dan juga pada
tahap-tahap selanjutnya. Selain konteks dan konselor, klien juga harus
dipersiapkan sebaik mungkin agar ia dapat berpartisipasi aktif dalam proses
konseling selanjutnya.
Keterampilan melayani klien (attending) secara pribadi oleh
konselor juga merupakan hal yang sangat penting tidak saja pada tahap awal
konseling tetapi juga pada seluruh tahap-tahap konseling. Dengan melayani klien
secara pribadi itu memungkinkan konselor mengobservasi dan mendengarkan
kliennya secara lebih baik. Melalui observasi, konselor dapat melihat dimensi
fisik klien, dimensi emosional klien, dan dimensi intelektual klien.
Keterampilan mendengarkan sangat diperlukan bukan saja pada proses
konseling awal, tetapi juga sepanjang hubungan konseling.
DAFTAR PUSTAKA
Carkhuff, Rober R. 1983. The art of helping. Massachusetss:
Human Resource Devloment Press. Inc.
Comier, W.H., dan Cormier, L.S. 1985 Interview Strategies For Helpers (second
edition). California: Wadswordth, Inc.
Egan, Gerard, 1975 The Skilld Helper (second edition).
Montery, California: Brooks/Cole Publishing Company.
Munro, E.A.,dkk. 1979. Penyuluhan (counselling). Suatu Pendekatan
Berdasarkan Keterampilan. Diterjemahkan oleh Drs. Erman Amti dan disunting
oleh Dr. Prayitno, M.Sc. Ed. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Tryler. L.E. 1961. The Work Of Counselor (3rd ed). New York:
Appleton-Century-Crofts.